Rabu, 17 Oktober 2012

METAMORFOSIS KUPU KUPU KECILKU

Bocah itu tertunduk di hadapanku. Ia tampak begitu ketakutan. Kuraih tangan kecilnya.Pelan dia mengangkat kepalanya.Mata kanannya lebam. 
Aku menyapanya, “apa kabarmu?” Bocah itu tak menjawab apapun.
Si bapak yang dikuasai emosi pun bercerita tentang kejadian beberapa waktu lalu yang sungguh membuatnya malu bercampur marah.
Anak keempatnya yang duduk di depanku ini tertangkap mencuri dan sempat diamankan di kantor polisi. Uang dan beberapa bungkus rokok, mengantarkan anak berusia sekitar 12 tahun itu harus melakukan wajib lapor pada hari Senin dan Kamis, membuatnya menerima bogem mentah dari sang kakak, menjadi bahan pembicaraan tetangga, dan membuatnya malu ke sekolah bahkan untuk sekedar cap 3 jari pada ijazah kelulusan SDnya.
“Saya sudah tidak sanggup mendidiknya mbak.Saya minta bantuan mbak untuk mencarikan pondok pesantren atau apapun yang bisa dia jadikan tempat belajar.Saya pasrahke ke mbak mawon” begitu ucap si bapak diujung ceritanya.
Si Ibu mengangguk setuju. Entah apa yang berkelebat di pikirannya saat itu. Mungkin dalam hati dia berkata “Jika saja bisa, masuklah kembali ke rahimku Nak, agar dirimu tak mengalami keadaan sesulit ini.”
Butuh berhari hari dan berulangkali aku datang kerumahnya sejak saat itu untuk mengajak si anak ngobrol dan memotivasinya. Siang itu aku kembali ke rumahnya.Seperti biasa aku mengajaknya bicara banyak hal.Tentang PS yang disebutnya berulangkali mendorongnya melakukan pencurian kemarin, tentang teman temannya, juga tentang bola yang menjadi kegemarannya.
Lalu ditengah obrolan kami, aku mengajukan 1 pertanyaan sederhana padanya, “Ajid tahu asal dari seekor KUPU-KUPU?”
Ia mengangguk, “Ulat kan mbak?”
Aku tersenyum mendengar jawabannya dan melanjutkan pertanyaanku, “lalu bagaimana dia bisa jadi KUPU KUPU?”
“Dia jadi kepompong dulu, jawabnya cepat.
“Ulat, dia begitu ditakuti banyak orang, keberadaannya sering membuat orang merasa terganggu, bahkan dia disemprot karena dianggap sebagai hama tanaman.Tapi karena ulat itu mau berpuasa, menahan segala yang disukainya dengan menjadi kepompong.Allah kemudian merubahnya menjadi kupu-kupu yang indah.Allah membuatnya begitu disukai setiap orang yang melihatnya.Maukah Ajid jadi KUPU KUPU?”tanyaku. 
Ia mengangguk. Matanya berbinar, tak ada lagi ketakutan yang kutemui beberapa hari ini.
Aku mengulurkan tanganku,”Berjanjilah mulai sekarang bahwa Ajid mau berjuang seperti kepompong!”
Hari itu aku mengantar Ajid ke pondok pesantren sekaligus sekolah yang mau menerimanya dengan segala catatan khususnya.Pihak sekolah, Pondok Pesantren semua sepakat bahu membahu membina anak ini.
Setelah segala urusan kelengkapan administrasi selesai, bapak kepala Madrasah mengajak Ajid bicara, “Kamu pengen jadi apa Nak?’ 
Ajid melihat ke arahku, lalu tanpa ragu dia menjawab tegas, “KUPU-KUPU yang INDAH”.
Mendengar jawaban anak ini air mataku hampir saja jatuh.
1 bulan, 2 bulan, semua berjalan baik baik saja.Bahkan dalam salah satu kunjunganku ke sekolahnya bapak kepala juga guru-gurunya mengatakan perkembangannya luar biasa.Bapak dan ibunya juga tampak bahagia ketika aku menyampaikan kabar ini pada mereka.Sampai hari Sabtu sore, tanggal 15 September 2012 aku ditelfon pengurus pondok pesantren.
“Ajid mencuri dan diamankan di kantor polisi”. Si ulat kecil mengingkari janjinya.
Ia terisak ketika melihatku datang. Ia tertunduk seperti saat aku menemuinya beberapa waktu lalu. Setelah menghadap salah satu polisi dan menandatangani surat pernyataan aku menemuinya. Aku mencoba mengatur emosiku.Sesungguhnya aku ingin marah atas “pengkhianatannya”, tapi melihat wajah kecil yang penuh penyesalan itu aku sanggup meredamnya.Kejadian beberapa bulan lalu seperti diulang kembali.
Di hadapan polisi dan pengurus pesantren, aku kembali meraih tangan kecil itu.“Kamu ingin melupakan janjimu untuk menjadi KUPU KUPU?”
Anak itu menggeleng, dan semakin terisak.“Maaf mbak!”

KESEMPATAN KEDUA…………….

Pondok pesantren juga sekolah memberi Ajid ampunan.Tangan mereka masih terbuka untuk merangkul anak itu kembali.Membimbingnya berproses memperbaiki diri.Polisi juga hanya mengenakannya wajib lapor. Semoga kali ini ia tidak kembali mengingkari janji…
28 September 2012,.
Aku masih berbagi cerita dengan para pendamping PKH yang tengah mengikuti PBL di desa Caturharjo, ketika handphoneku berbunyi.Nomor baru muncul.Buru-buru aku mengangkatnya.Dari pondok pesantren Ajid. Ajid kembali tertangkap massa. 
Aku segera ke pondok pesantren bersama bapak kasi kemasyarakatan kecamatan Pandak. Pihak Pondok pesantren dan sekolah yang awalnya masih menyimpan harapan yang sama denganku atas perubahan diri Ajid akhirnya menyerah. Ajid di kembalikan kepada keluarganya.Aku bersama bapak kemasy, juga seorang santri mengantarkannya pulang ke rumah.Dalam perjalanan itu, ban motor pak kemasy bocor, sehingga kami baru sampai di rumahnya hampir Isya’.
Kami mengetuk pintu, seorang bapak menyahut dari dalam.Buru-buru aku menarik tangan Ajid dan menggandengnya. Aku takut bapaknya lepas control dan menghajar anak ini lagi. 
Dramatis,aku menyebutnya begitu. Si Bapak berteriak teriak marah, Ajid menangis dan menghambur dalam pelukan ibunya yang akhirnya ikut menangis, sang nenek lemas, adik kecilnya bingung melihat ibu dan kakaknya menangis. Sesaat kami membiarkan keluarga ini hanyut dalam emosi masing-masing.Amat wajar jika emosi mereka campur aduk seperti saat itu.
Aku mulai berpikir tentang langkah apa yang selanjutnya harus kuambil untuk anak ini. Aku mendapat informasi tentang keberadaan panti rehabilitasi khusus anak milik Kemensos yang berada di Magelang, dan aku bermaksud memasukkan Ajid ke sana. Aku berencana mencari panti rehabilitasi tersebut di Magelang beberapa hari kemudian.Tetapi ibu Camat ternyata telah lebih dulu melakukannya. Aku hanya dimintanya untuk memotivasi Ajid dan keluarganya,serta mencari syarat guna pendaftaran. 
Ajid akhirnya mengangguk setuju setelah berulangkali aku datang untuk membujuknya.
Pada hari yang telah disepakati aku menjemputnya pagi-pagi sekali. Betapa jantungku hamper berhenti ketika ternyata Ajid menghilang. Kami mencarinya kesana kemari sambil terus berdoa semoga Ajid tak melakukan hal-hal yang kutakutkan.
Syukurlah dia muncul.Aku memintanya segera bersiap-siap. Kami masih harus ke puskesmas karena aku lupa belum mencarikan surat keterangan Dokter untuknya. Aku memboncengkannya ke Puskesmas.Sepanjang perjalanan aku terus membesarkan niatnya.Aku juga mengingatkannya pada janji KUPU-KUPU indah yang pernah diucapkannya.
Jam 08.30 dengan fasilitas mobil Dinas ibu Camat kami akhirnya berangkat ke Magelang.Syarat syarat pendaftaran yang kuurus dalam beberapa hari terakhir ini kupastikan telah lengkap. 3 staff di minta ibu Camat mendampingiku. Setelah sempat beberapa kali bertanya di sepanjang jalan, akhirnya kami sampai di Panti Sosial Marsudi Putra Antasena Magelang.
Kami disambut hangat.Seorang petugas segera memeriksa syarat syarat administrasi pendaftaran.Tiba tiba Ajid keluar.Ia menangis memeluk ibunya. Si Bapak kembali memaki makinya.Aku tahu Ajid takut.Aku mendekatinya, pelan aku membujuknya.Tapi dia terus menolak bahkan melakukan perlawanan fisik.Aku tahu situasi ini menyakitkannya.Menyakitkan ibu juga bapaknya. Tapi mungkin dengan rasa sakit ini DIA sedang menyelamatkan masa depan Ajid dan keluarganya.
Petugas yang sudah sangat terbiasa menghadapi situasi semacam ini segera turun tangan. Entah dengan ilmu apa, Ajid berhasil ditaklukkan. Segala proses penerimaan kami lewati hari itu. Ajid dengan segera membaur bersama teman-temannya.
Kami pamit pulang. Bapak dan ibunya mengantarkan Ajid ke kamarnya yang mungkin akan ia huni setahun kedepan. Aku sengaja tidak ikut pada moment mengharukan itu.Aku takut kali ini air mataku tak sanggup terbendung.Aku takut tak sanggup melihat bagaimana ibu Parjiyem memeluk dan membisikkan pesan kasih sayang untuk anaknya.”Sik Ati-ati yo Le!”Aku takut tak mampu menahan haru ketika Ajid menyalami tanganku dan bilang,”Aku akan jadi kupu-kupu Indah Mbak!”
2 hari sejak kami mengantarkannya ke Magelang.Pesan singkat dari pekerja social PSMP Antasena masuk ke HPku.”Ajid sudah senang disini mbak. Dia sudah menikmati hari-harinya di panti”
Aku bergegas menyampaikan berita itu pada ibu Parjiyem.Perempuan tinggi besar peserta PKH dampinganku yang entah telah berapa puluh kali diuji hidup itu berkaca-kaca mendengar ceritaku.
“Doakan dia Bu. Doa Ibu akan menjaga dan memudahkan Ajid berjuang disana”

Tanggal 17 Oktober 2012,
Saat aku menulis ini, tepat seminggu si ulat kecil berada di PSMP Antasena Magelang. Mungkin di salah satu kamar asrama di sudutkota Magelang sana dirimu sedang mengingat ibumu dan begitu merindukannya. Kuatkan hatimu, teruslah berjuang menjadi kepompong sebelum DIA akhirnya menganggapmu pantas menjadi KUPU-KUPU yang indah.Bersemangatlah demi janjimu padaku, demi dukungan begitu banyak pihak yang peduli padamu, dan terutama demi ibumu.Perempuan tangguh yang di setiap tarikan nafasnya terus berdoa untukmu. Sama sepertimu di sana dia pun tengah teramat merindukanmu di sini.

17 Oktober 2012,
Pendamping PKH kecamatan Pandak
Damar Asih Kuntari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar